Caleg DPRD Kab Siak Dapil IV: Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang


 
 “Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang.” Salah satu pepatah petitih minang yang populer diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. 

Peribahasa yang memiliki arti dalam kehidupan sehari-hari kita harus menghormati atau mematuhi adat-istiadat dimana tempat kita tinggal. Suku Minang memang sangat akrab dengan merantau dari tanah leluhur.

Sebagai seorang keturunan Minang, saya sudah tak asing dengan pepatah tersebut. Meski tak menguasai banyak, namun saya masih cukup mengerti dan fasih jika ada yang bercakap-cakap dalam bahasa Minang.

Mengembara, berpindah tempat tinggal untuk mencari penghidupan yang lebih baik yang disebut merantau merupakan salah satu aktifitas manusia sejak jaman dahulu. Sebab kalau manusia tidak memiliki naluri ini, maka barangkali manusia hanya akan bertumpuk di padang Arafah, tempat Adam dan Hawa bertemu. 

Namun demikian dalam sejarahnya hanya beberapa saja dari kelompok manusia itu yang kemudian masih memiliki kebiasaan merantau dengan alasan yang berbeda.

Sejarah mencatat bangsa yang dianggap sebagai perantau ulung adalah bangsa Bani Israil yang artinya berjalan malam hari. Kemudian adalah bangsa Cina yang tersebar di Asia.

Sedangkan untuk bangsa Indonesia ada beberapa etnis yang juga memiliki tradisi merantau ini, antara lain etnis Bugis, Madura, dan tentu saja urang awak yang dikenal dengan sebutan orang “Padang”. 

Di sini disebut orang Padang, karena pada umumnya masyarakat Indonesia lebih mengenal nama Padang daripada Minang, mungkin karena orang Minang yang membuka usaha Rumah Makan menulis Masakan Padang sebagai ciri khas menunya, bukan masakan Minangkabau atau Minang. 


Sebagai orang yang memiliki adat, orang Minang memiliki pepatah-petitih yang secara apriori menjadi pegangan hidupnya. Salah satu pepatah yang sangat erat kaitannya dengan kemampuan beradaptasi adalah “di ma bumi dipijak di sinan langik dijunjuang”, makna dari pepatauh ini adalah di mana kita hidup hendaknya menyesuaikan diri dengan aturan main atau adat istiadat setempat. Namun demikian tidak berarti orang Minang adalah yang gampang terpengaruh oleh kebiasaan yang tidak sesuai dengan keyakinan yang telah dianutnya. 

"Di ma bumi dipijak di sinan langik dijunjuang" hanya sejauh yang berkaitan dengan sopan-santun adat istiadat setempat dan bukan mengenai agama. Seawam-awamnya orang Minang tentang agama ia tidak akan mengganti agama Islam yang telah dianutnya dengan agama lain, kalau ada orang Minang yang berganti agama maka ia adalah sebodoh-bodohnya orang Minang, dan menurut adat dia bukan orang Minang lagi, karena pepatah mengatakan: Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (Al Quran).

Salah satu pepatah lain yang juga menjadi acuan apriori bagi orang Minang dalam hidupnya, dan ini terbawa ketika ia merantau adalah: manyauak di hilia-hilia, kok bakato di bawah-bawah. Pepatah ini memberikan acuan bahwa dalam hidup bersama jangan sekali-kali bersikap sombong dan angkuh dalam bergaul. Kesombongan dan keangkuhan hanya akan mendatangkan sikap tidak senang dari orang lain, apalagi penduduk asli, dengan bekal ini orang Minang pandai membawakan diri dalam bergaul dengan orang lain.

Maka dengan pepatah tersebut di atas orang Minang akan berhati-hati dalam bergaul dan dapat memperkirakan sejauh mana perkataan dan tindak tanduknya dapat menyakiti hati orang lain yang dapat berakibat merugikan terhadap dirinya.

Selain harus pandai membawakan diri dalam lingkungan di perantauan dan bersikap hati-hati dalam berkata dan bertindak, orang Minang dalam hidup bersama dengan saudara barunya juga menaati aturan main yang telah ditetapkan. Orang Minang yang cerdik dan pandai harusnya dapat menaati aturan yang telah menjadi aturan masyarakat setempat.
Dari uraian singkat di atas, maka orang Minang di rantau dapat hidup sukses dan dapat hidup damai dengan “tetangga” barunya apabila ia masih tetap memegang adat. Adalah satu anggapan yang keliru jika ada yang mengatakan bahwa pepatah petitih ada hanya berlaku di alam Minangkabau saja. memang harus diakui pula bahwa ada adat salingka nagari, namun lebih banyak pula adat yang dapat berlaku di mana pun orang Minang berada sebagai pegangan hidupnya. 


# Gan | Dari berbagai sumber

No comments

Powered by Blogger.